Dalam sejarah Perkembangan Islam di tanah Jawa khususnya di Kabupaten Tegal terdapat seorang tokoh yang sangat dikenal oleh masyarakat yaitu Ki Buyut. Tentang dari mana ia berasal tidak banyak orang mengetahui. Masyarakat hanya tahu bahwa Ki Buyut datang ke Sumedo membawa misi untuk mengembangkan ajaran Islam. Karena penampilannya yang simpatik, santun, dan suka menolong Ki Buyut sangat disegani dan dicintai masyarakat sehingga semakin hari pengikutnya semakin banyak. Kehadiran Ki Buyut di Semedo menjadikan kehidupan masyarakatnya aman, tentram, dan kesejahteraannya pun semakin meningkat. Ini terbukti dengan sudah tidak terlihat lagi orang berjudi, mabuk-mabukan, perampokan, dan pencurian sudah tidak terdengar lagi. Dikala malam tiba terdengar alunan musik rebana dan gaung ayat suci Al-Qur’an yang dilantunkan oleh para santri sehingga mewarnai kedamaian penduduk desa Semeno.
Untuk melengkapi hidupnya Ki Buyut kemudian mempersunting kembang Sumedo putra dari seorang Bekel yang bernama Dayem. Meskipun sudah berkeluarga Ki Buyut sejatinya seorang musyafir yang sedang membawa misi mengembangkan ajaran Islam, hingga pada suatu malam Ki Buyut menuturkan maksud yang terpendam di benaknya untuk mengajak istrinya meninggalkan Sumedo dengan misi yang sama di daerah lain dan Ni Dayem menyetujuinya. Keesokan harinya setelah berpamitan dengan para santri, ustad dan sesepuh masyarakat, Ki Buyut dan istrinya meninggalkan Sumedo diiringi isak tangis karena mereka merasa kehilangan seorang tokoh yang sangat dicintainya, tetapi karena kepergian Ki Buyut untuk mengemban tugas yang sangat mulia dengan terpaksa melepaskannya.
Dengan langkah mantap mereka menuju ke Barat menelusuri parit dan jalan setapak berbatu dan licin. Selama perjalanan tak henti-hentinya berdzikir memuliakan asma Allah. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan Ki Buyut beristirahat dan berteduh di bawah pohon sambil menikmati perbekalan yang dibawanya. Setelah hilang rasa penatnya Ki Buyut menuju ke wangan (parit) untuk berwudlu dan istrinya pun mengikutinya. Selesai sholad dzuhur Ki Buyut mendekati wangan (parit) yang baru saja digunakan untuk wudlu. Diamatinya wangan (parit) dari ujung selatan sampai ujung utara. Sambil tersenyum ia mengangguk- anggukan kepala lalu menghampiri istrinya. Melihat perubahan sikap suaminya Ni Dayem bertanya,
“Ada apa toh, Kang kok kelihatannya gembira sekali ?”
“Benar Yem. Kita telah menemukan tanah harapan yang kita tuju.” Kata Ki Buyut,
“Lihat wangan (parit) yang memanjang dari ujung selatan sampai ke utara yang dipergunakan untuk wudlu tadi itu merupakan suatu modal yang tak ternilai harganya. Kalau kita manfaatkan untuk mengolah tanah pertanian saya yakin akan bisa menyejahterakan masyarakat dan anak cucu kita kelak. Untuk itu kita ingin mengakhiri perjalanan kita sampai disini, bagaimana ?”
“Maksud kakang ingin bertempat tinggal disini ?” Tanya Dayem. “Naluri saya mengatakan ya.” Kata Ki Buyut mantap,
“ Dan perlu kamu ketahui, sehubunga akhir perjalanan kita dengan didapatinya wangan dawa (wangan yang panjang) maka daerah ini akan kuberi nama WANGANDAWA.”
Di Wangandawa inilah Ki Buyut dan istrinya bertempat tinggal serta membangun rumah tangganya yang sakinah. Mereka mulai membuka tanah pertanian dengan mengajak penduduk sekitar untuk mengolah pertanian yang baik sambil menanamkan ajaran islam. Dengan bermodalkan semangat dan kerja keras Ki Buyut menjadi petani yang berhasil. Meskipun demikian semangat untuk menyiarkan Islam tak kunjung padam maka dibangunlah pesantren yang pengelolaannya dibantu oleh istrinya. Dari hari ke hari pesantrennya berkembang dan kondang dengan sebutan pesantren Ki Buyut Dayem. Dalam mengarungi bahtera rumah tangganya Ki Buyut dikaruniai tiga orang anak yaitu satu putri dan dua putra yang diberi nama Marwiyah, Pardi, dan Parjan. Mereka dididik dengan baik, disiplin dan penuh kasih, karena Ki Buyut berharap agar putranya kelak menjadi anak yang sholeh dan sholaihah serta dapat meneruskan perjuangannya mengembangkan ajaran islam ddan dapat dijadikan panutan masyarakat. Setelah putra putrinya beranjak dewasa pekerjaan Ki Buyut semakin ringan karena sebagian tugasnya sudah dapat dikerjakan oleh putra-putranya.
Konon ceritanya pada saat penjajah Belanda mencengkeram kuku- kukunya di Pulau Jawa banyak rakyat yang menderita dan jatuh miskin karena tindakan dan peraturan yang semena-mena. Sebagai raja yang bertanggung jawab dan tidak rela melihat rakyatnya tertindas, Sultan Agung Hanyokrokusumo mengerahkan tentaranya untuk menyerang VOC di Batavia. Saat Ki Buyut berada di sawah untuk memberikan penyuluhan kepada penduduk desa tentang cara bercocok tanam dengan baik, tiba-tiba datang Ki Panewon dari Sumedo sebagai utusan dari Sultan Agung yang bermaksud menyampaikan pesan dari Sultan Agung Hanyokrokusumo agar Ki Buyut segera menghadap ke Mataram untuk mempersiapkan penyerangan ke Batavia. Dengan segera Ki Buyut bersiap ke Mataram untuk
melaksanakan tugas yang telah diberikan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Pertempuran tentara Mataram melawan Belanda di Batavia berjalan seru. Banyak korban yang berjatuhan diantara kedua belah pihak. Tentara VOC kuwalahan menghadapi tentara Mataram yang gagah berani meskipun dengan persenjataan yang tidak memadahi dibandingkan dengan persenjataan tentara Belanda. Kemudian tentara Belanda membabi buta membakar gudang-gudang makanan tentara Mataram dan membendung Sungai Citarum sehingga tentara Mataram kekurangan makanan dan minuman, yang akhirnya tentara Mataram ditarik mundur.
Ki Buyut kembali ke Tegal menyusuri daerah pesisir Pantai Utara. Untuk bekal perjalanan ia menyamar sebagai pembarang kentrung dengan lantunan syair-syair yang berisi ajaran pendidikan Islam. Selama perjalanan ia lalui dengan sabar. Kepulangan Ki Buyut disambut dengan gembira dan penuh haru oleh anak istrinya dan para santri yang telah ditinggalkan. Mereka bersyukur karena orang yang dicintainya selamat dalam mengemban tugas memberantas kebatilan dan ketidak adilan yang diperbuat oleh penjajah Belanda.
Pada suatu malam seusai mengajar Al-Qur’an kepada para santri- santrinya Ki Buyut menanyakan keadaan keadaan pesantren selama ia tinggalkan serta mengenai harapan Ki Buyut kepada kedua putrannya Pardi dan Parjan untuk meneruskan perjuangan yang selama ini telah dirintis. Setelah berdiskusi dengan istri dan kedua anaknya, Ki Buyut memutuskan bahwa Pardi akan menggurus pesantren di tempat yang baru nanti sedangkan Parjan mengurus pesantren yang telah dibantu oleh Marwiyah. Setelah sarana dan prasarana siap, Ki Buyut kemudian memberikan perintah agar Pardi segera melaksanakan tugas di tempat yang baru dan berpesan untuk
mengelola pesantren dengan baik serta berpandai-pandailah menyesuaikan diri ditempat yang baru. Kata Ki Buyut “ Dan perlu diketahui karena diantara kita kamu yang memisahkan diri atau menyingkir dari Wangandawa maka daerah yang baru itu akan kuberi nama Sumingkir, dan perlu kamu catat, seandainya nanti kamu dan anak cucu kamu bmeninggal jenazahnya harus dimakamkan di Wangandawa, agar pertalian darah kita tidak terpisahkan.”
Dengan adanya pesan-pesan yang pernah disampaikan oleh Ki Buyut inilah sampai Talangg jika warga Desa Sumingkir meninggal dunia jenazahnya dimakamkan di Desa Wangandawa dan sampai Talangg Desa Sumingkir tidak terdapat makam atau kuburan.